Media sosial berhasil mempermainkan psikologi konsumennya. Mereka membuat dagangannya menarik, lalu kita tertarik, sampai akhirnya menjadi polemik, dan membuat kita fanatik.
Kita menyadari bahwa media sosial bukan lagi sebuah wadah untuk menjalin pertemanan atau sekedar ‘jembatan’ untuk menyatukan silaturahmi. Media sosial telah menjadi sesuatu yang lebih besar dari yang di perkirakan, media sosial telah membentuk sebuah dunia baru bagi para penikmat jaringan internet, sebuah dunia kebebasan yang menjadi tren di kalangan sosialita.
Kolom status yang ada di Facebook maupun di Twitter berhasil merayu kita untuk terus menulis kalimat-kalimat yang mencerminkan keadaan diri sendiri. Dan kalimat-kalimat status tersebut dapat terlihat di linimasa seorang teman, dan begitupun sebaliknya. Melalui linimasa, kita dapat mengetahui perkembangan sekitar, update berita, pergaulan, sampai jual-beli terjadi disini. Hingga istilah-istilah seperti hashtag, TT atauTrending Topic, terbawa-bawa sampai ke kehidupan sosial di dunia nyata. Itulah bukti dari ‘Keagungan Media Sosial’.
Mungkin zaman sudah berubah, mungkin manusia semakin pintar dan sudah terbiasa hidup di dunia media sosial. Sehingga kita ‘merasa’ bahwa setiap status yang tertulis tak lagi mencerminkan keadaan atau sifat seseorang. Maksudnya? Baik, media yang paling sederhana untuk dijadikan contoh adalah, Twitter. Di Twitter, terdapat sistem toleransi yang disebut Following dan Followers. Dan kita pasti tahu maksud dari kedua istilah tadi. Maka Followers adalah unsur penting yang harus kita miliki di dunia ini. Bahkan, jumlah banyaknya Followers dapat membuat seseorang merasa dirinya Tuhan.
Kita mempunyai beberapa alasan untuk mem-follow seseorang, bisa karena ‘twit’nya menarik atau hanya atas nama pertemanan belaka. Saling mem-follow sudah menjadi budaya, baik antara teman di dunia nyata maupun teman di dunia maya. Jika sudah saling follow, otomatis setiap status yang tertulis dapat terlihat di linimasa. Dan ‘Drama Media Sosial’ banyak terjadi di linimasa ini.
Media sosial adalah sebuah alat yang menjadikan linimasa sebuah lembaran yang penuh dengan drama. Beberapa orang menganggap media sosial sebagai alat untuk menghibur diri, sebagian lagi menggunakannya sebagai alat untuk pencitraan diri, dan yang lain menggunakannya sebagai alat untuk menghipnotis masa. Sedangkan beberapa orang hanya sebagai penikmat yang masih lugu, dan ingin menikmati tren, kemudian justru terjebak di dalam linimasa yang penuh dengan tanda tanya. Maka dari sinilah drama dimulai.
Saat kita berada di dalam linimasa, sebuah kontraksi terjadi di dalam diri. Akuilah, bahwa sering kali kita terpanggil untuk menulis sesuatu yang menarik hanya untuk terlihat baik di hadapan followers. Bahkan menulis hal-hal yang sedang hangat diperbincangkan hanya untuk mencari perhatian, sekedar pengharapan akan retweetdari followers. Mengapa kita begitu? Karena layaknya manusia, kita pun ingin di akui keberadaannya. Eksistensi dunia maya.
Dan yang lebih lucu adalah, jika ada kalimat status yang terlihat tidak enak berada di linimasa mu maka kau akan tersinggung, merasa bahwa mereka menuliskan sesuatu yang nyinyir di matamu, yang padahal mereka sama sekali tak ada maksud tertentu di balik penulisan kalimat tersebut, hanya sekedar ngedumel. Lagipula, sifat seseorang bisa berubah setiap harinya, jadi gaya dan karakter penulisan orang tersebut pun bisa berubah mengikuti suasana hatinya. Bahkan, bukankah itu adalah sebuah resiko dari mem-follow? Membaca semua statusnya, baik status yang menarik maupun status yang mengandung sinisme, lantas mengapa tersinggung?
Juga ada kasus yang seperti ini, seseorang menulis status tentang kesedihan yang sangat tragis, lalu kita melihatnya dan langsung mengganggap bahwa orang tersebut sedang dalam keadaan bersedih dan cengeng. Yang padahal, orang itu hanya sekedar menuliskan sebuah bait lagu yang baru saja ia dengar dan menurutnya menarik untuk ditulis, dan ia menuliskannya sambil tertawa. Apakah ini bisa ditolerir? Media sosial membuat kita mudah terhasut oleh sesuatu yang belum terbukti kebenarannya.
Yang harus di ingat adalah, dalam setiap tulisan yang terjadi di linimasa belum tentu mencerminkan keadaan seseorang. Tulisan status di media sosial sangat berbeda dengan tulisan yang ada di dalam sebuah berita. Belum tentu mengandung makna, belum tentu mengandung informasi. Jangan cepat mengambil keputusan atas keadaan seseorang. Dari sini kita bisa mengambil kesimpulan bahwa, mood bukan hanya mempengaruhi cara dalam menulis status, tetapi juga dalam membacanya.
Media sosial berhasil mempermainkan psikologi konsumennya. Mereka membuat dagangannya menarik, lalu kita tertarik, sampai akhirnya menjadi polemik, dan membuat kita fanatik.
Ya, beberapa orang tak sanggup mengendalikan kekuatan media sosial yang begitu dahsyat, sehingga mereka terlalu menganggapnya serius. Kita pun kadang begitu, tak perlu menyangkal. Yang perlu di renungkan adalah, cepat atau lambat kita harus menyadari bahwa dunia media sosial ini akan menjadi lebih besar dan kuat. Jika kita tak sanggup menahan kharismanya, maka kita akan kehilangan jati diri. Maka tetaplah menjadi dirimu sendiri, dimanapun dan kapanpun.
Sumber : Tekno Kompasiana
Komentar